Sejarah Sekaten : Adat, Budaya dan Wisata

Bimakuru - Sejak bulan November 2016 lalu beberapa ruas jalan di sekitar (menuju) Alun-alun Utara Keraton Jogja ditutup. Hal ini berkaitan dengan dilaksanakannya Pasar Malam Peringatan Sekaten (PMPS) yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya.

Kepadatan lalu-lintas mulai terasa ketika saya melintas di Jembatan Sayidan pada Sabtu malam, 10 Desmber lalu. Kepadatan kendaraan baik pemotor, mobil pribadi hingga bus mulai mengular hingga ke perempatan gondomanan. Mayoritas menuju ke arah Alun-alun Utara, tentu saja untuk mengunjungi PMPS.

Seingat saya baru kali ini acara Pasar Malam Sekaten kendaraan pribadi boleh masuk hingga sekitar Alun-alun, biasanya hanya boleh parkir diluar gerbang saja. Gelaran acara Pasar Malam Sekaten ini rutin digelar setiap tahun bertempat di Alun-alun Utara Keraton Jogja.



Sejak kapan acara Sekaten ini sudah mulai dilaksanakan ?

Asal-usul istilah sekaten disebutkan ada beberapa versi. Salah satu laman menyebut setidaknyaada tiga versi asal mula istilah Sekaten. Pendapat pertama Sekaten berasala dari kata Sekati, yaitu nama dari sepasang gamelan milik Keraton Jogja yang disebut dengan nama Galeman Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh (dimainkan) untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW.

Pendapat kedua mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata Suka dan Ati (suka hati, senang hati) karena masyarakat menyambut hari Maulud tersebut dengan perasaan syukur dan bahagia dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.

Pendapat ketiga menyebutkan bahwa Sekaten berasal dari kata Syahadatain, dua kalimat dalam Syahadat Islam, yaitu syahadat aukhid (Asyhadu alla ila-ha-ilallah) yang berarti "saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah" dan syahadat rasul (Waasyhadu anna Muhammadarrosululloh) yang berarti "saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah".

Wikipedia menyebut Sekaten adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad SAW yang diadakan pada setiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul Awal tahun Hijriah) di Alun-alun utara Surakarta dan Yogyakarta. Upacara ini dahulu dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.

Sumber lain mengatakan bahwa acara Sekaten ini sudah dilakukan jauh sebelum Keraton Jogja berdiri bahkan sudah mulai diadakan sejak Kerajaan Demak pada pemerintahan Raden Patah dengan tujuan untuk melestarikan tradisi perayaan tahunan yang sudah ada pada masa Majapahit.

Hal tersebut diduga karena Raden Patah adalah anak dari raja terakhir Majapahit, Brawijaya V. DIkarenakan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Budha, kebudayaan bawaan ini dirasa tidak sesuai dengan ajaran Islam oleh Walisongo. Sehingga tradisi itu  disesuaikan dengan ajaran agama Islam, yaitu dilaksanakan pada bulan Maulud tanggal  dua belas dengan maksud memperingati hari kelahiran nabi Muhammmad SAW.

Raden Patah sebagai raja pertama Kerajaan Demak bersama dengan Walisongo mengkolaborasi antara gamelan sebagai kesenian-budaya untuk memperkenalkan agama Islam pada masyarakat. 
Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan yang dibuat oleh Sunan Giri yang membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.

Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (Syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun di Kerajaan Islam Demak.

Selanjutnya perayaan Sekaten ini terus terbawa seiring dengan perkembangan dan perpindahan Kerajaan Demak. Selanjutnya Pemerintahan Demak dipindahkan ke Pajang oleh Jaka Tingkir. Dari Pajang lalu dipindahkan ke Mataram oleh Sutawijaya (Panembahan Senopati). Melalui perjanjian Giyanti kerajaan Mataram dipecah menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Adat-istiadat serta kebudayaan disetiap pemerintaahn kerajaan diatas secara otomatis juga mempengaruhi dalam perkembangan perayaan Sekaten.

Hingga perkembangannya kini Sekaten tidak hanya sebagai sebuah kultur adat saja, namun juga digunakan sebagai tujuan wisata baik masyarakat di Jogja maupun luar Jogja. Jauh dari unsur keagamaan, Sekaten lebih identik dengan Pasar Malam yang ikut memeriahkan raingkaian acara dalam menyambut puncak Sekaten-nya itu sendiri.

Referensi:
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/07/kesultanan-pertama-di-tanah-jawa
http://krjogja.com/web/news/read/16552/Belum_Tahu_Sejarah_Sekaten_Begini_Awalnya
https://gudeg.net/direktori/345/riwayat-singkat-perayaan-sekaten.html
http://hudi-wahyu-p.blog.ugm.ac.id/2012/05/28/tradisi-sekaten-di-yogyakarta/
http://muslimlokal.blogspot.co.id/2014/01/tradisi-sekaten.html